Di hampir seluruh negara, patung dan bangunan adalah ciptaan yang dilindungi undang-undang hak cipta. Ini artinya, pengumuman, penggandaan, dan/atau distribusi dari setiap ciptaan tersebut tidak diperbolehkan secara hukum kecuali memberikan izin tertulis kepada pencipta (bukan pemilik karya). Dalam hal ini, menggandakan karya arsitektur misalnya, harus seizin arsitek, bukan pemilik gedung. Begitu juga patung, harus seizin pematung. Orang-orang yang mendapatkan izin tersebut disebut "pemegang lisensi".
Lalu bagaimanakah kalau Saudara bukan "pemegang lisensi"? Mungkin Saudara suka memotret, merekam video, atau melukis di ruang publik lalu membagikannya ke media sosial. Lalu kiriman Saudara langsung disuspend oleh pengelola situs web (kena copyright lah, di YouTube). Saudara mungkin tak sadar bahwa apa yang Anda bagikan itu telah melanggar hak cipta hanya karena menampilkan sebuah patung atau bangunan. Hal ini dikarenakan Saudara otomatis melakukan "penggandaan dan distribusi" suatu karya berhak cipta tanpa izin pencipta.
Ya. Asal usul dari permasalahan hak cipta ini adalah Freedom of Panorama (FoP), dari bahasa Jerman Panoramafreiheit, atau secara kasar diterjemahkan sebagai "kebebasan (ber)panorama".
FoP adalah pengecualian pelanggaran hak cipta yang memperbolehkan setiap orang yang berada di ruang publik untuk memotret, merekam video, mengadakan siaran, dan melukis suatu objek permanen di ruang publik tanpa harus memberikan izin tertulis kepada pemilik hak cipta, kecuali diperjanjikan lain. Fotografer, videografer, dan pelukis dilindungi secara hukum dari tuntutan oleh arsitek atau pematung, dan mereka dapat leluasa beraksi di ruang publik.
Peta Freedom of Panorama di seluruh dunia. Indonesia termasuk zona merah, artinya Saudara dilarang melakukan fotografi terhadap seluruh gedung pencakar langit dan karya seni rupa kontemporer di Indonesia. (Sumber: Wikimedia Commons, dibuat oleh Mardus, dilisensikan CC BY-SA 3.0)
Situasi di beberapa negara
Tak semua negara di dunia menerapkan FoP. Tercatat separuh dari seluruh negara di dunia menerapkan FoP. Di Perbara sendiri ada enam dari total 10 negara anggotanya yang sudah menerapkan FoP. Negeri jiran Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, sudah menerapkannya. Namun bagaimana dengan negara antah berantah ini?
Negara-negara yang maju kebanyakan menerapkan FoP, kecuali Prancis dan Italia. Mereka, meski tak banyak bentang alam yang bisa dieksplorasi, justru banyak didominasi bentang seni dan budaya. Namun mayoritas negara dengan prinsip Syariah tidak memberlakukan FoP, seperti Arab Saudi. UEA, negara yang terkenal dengan menaranya yang tertinggi itu, tidak menerapkan FoP.
Dunia fotografi bentang budaya gedung dan patung relatif sulit berkembang di negara itu, karena pembatasannya sangat ketat dan pernyataannya jelas dalam undang-undang. Namun bagaimana dengan Indonesia? Indonesia yang merupakan negara dengan beragam bentang baik alam maupun budaya justru tidak menerapkan FoP sejak Indonesia sudah memiliki UU sendiri, UU 6/1982 yang kemudian direvisi dengan UU 7/1987. Lalu terus mengalir sampai UU yang sekarang, UU 28/2014.
Dekade 2000-an adalah awal dari pemberlakuan FoP di Eropa. Terjadi diskusi alot pada 2001 di Eropa, yang satu mengajukan FoP Universal dan satunya lagi menolak memberlakukan FoP di Eropa. Akhirnya ada kebijakan jalan tengah, yaitu mempersilakan setiap negara Eropa untuk memilih memberlakukan atau tidak memberlakukan FoP.
Saudara bisa ke Jerman, Inggris, atau Belanda untuk melakukan selfie dengan background gedung di sana, tetapi jangan ke Prancis, Belgia (sebelum 2016), Korea Selatan, atau Italia karena sekali Anda melakukan "kesalahan kecil"yang menimbulkan kerugian bagi arsitek yaitu "memotret gedung", bakal diseret ke meja hijau di sana dan Anda tidak bisa pulang. Paham sampai di sini? Pastinya paham lah.
Kasus terkenal yang berkaitan dengan FoP adalah Gaylord v. United States. Pematung bernama Frank Gaylord menuntut ganti rugi ke salah satu lembaga Amerika Serikat, US Postal Services karena memperbanyak patung yang dilukiskan dalam prangko untuk memperingati Perang Korea. Peradilan pun memberikan kompensasi $5.000 untuk kompensasi, tetapi di saat naik banding, dibatalkan dan harus dinegosiasikan lagi. Akhirnya peradilan memberikan ganti rugi sebesar $684.844,94 kepada Gaylord.
Pelindungan hak cipta di Indonesia
Karya seni fotografi di Indonesia dilindungi 50 tahun pascapublikasi, dan untuk patung dan arsitektur berlaku seumur hidup pencipta + 70 tahun terhitung mulai 1 Januari tahun berikutnya. Namun, untuk ciptaan yang dibuat di bawah tanggal berlakunya UU 28/2014, karya arsitektur dan patung berlaku seumur hidup pencipta + 50 tahun. Namun peralihan dari UU 19/2002 ke UU 28/2014 ini tidak mengatur dengan jelas apakah ciptaan yang masih dihakciptakan otomatis perpanjang waktu atau tidak, baik dengan pencatatan atau tidak. UU 28/2014 mengatur bahwa ciptaan yang didaftarkan sebelum UU berlaku dan masih menunggu disahkan, tetap mengikuti UU 19/2002 (seumur hidup + 50 tahun).
UU ini masih mewarisi UU 19/2002, yaitu tidak memberikan kejelasan yang pasti berkaitan dengan FoP. Ada pasal yang diduga menjadi petunjuk atas kegajean FoP yaitu:
Kecuali diperjanjikan lain, pemilik dan/atau pemegang Ciptaan fotografi, lukisan, gambar, karya arsitektur, patung, atau karya seni lain berhak melakukan Pengumuman Ciptaan dalam suatu pameran umum atau Penggandaan dalam suatu katalog yang diproduksi untuk keperluan pameran tanpa persetujuan Pencipta. (Pasal 15 ayat (1))
Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. (Pasal 40 ayat (1) huruf n: terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi)
Dari sini terlihat bahwa UU tersebut secara tersirat menyatakan tanpa FoP sama sekali. Penggunaan tanpa izin dianggap sebagai "wajar" (fair use), tetapi tidak memberikan kejelasan yang pasti, terutama kata-kata seperti "pengumuman, penggandaan, dan/atau distribusi atas karya fotografi, siaran, dan syuting video yang dilangsungkan di suatu tempat umum/ruang publik yang menampilkan ciptaan yang masih dilindungi hak cipta". Hal ini membuat orang jadi pusing tujuh keliling untuk berkunjung ke Indonesia lalu menyebarluaskan momen menakjubkan yang ada di Indonesia terutama gedung atau patung.
Apakah saya berhak menghentikan aksi mereka? Saya jawab, pasti tidak bisa. Adakah seorang penegak hukum mencegat Anda? Jarang kasus ini terjadi. Namun banyak yang tak sadar. Antara fotografer, pelukis, dan videografer mungkin tak mengerti apa-apa soal aturan hukum fotografi Indonesia, sedangkan arsitek, dan pematung banyak "bodo amat" ciptaannya disebarluaskan melalui fotografi komersial, mengingat aturan hukumnya sendiri adalah delik aduan semua.
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul Panduan Usaha Fotografi. Buku itu membahas fotografi dari sudut pandang komersial dan art photography saja dan kurang menyinggung dunia fotografi indie yang dikelola perseorangan. Namun buku ini belum menyinggung apakah ciptaan berupa gedung dan/atau patung layak untuk dijadikan sebagai tempat untuk videografi tanpa mengurus izin menggunakan ciptaan.
Mungkin kami bersedih ketika ada yang didenda Rp4 miliar (Pasal 113 jo Pasal 9) hanya karena memotret gedung.
Keunggulan FoP
Banyak sekali keunggulan Indonesia memiliki FoP, antara lain
Fotografer dijamin perlindungan hukumnya. FoP berfungsi untuk melindungi fotografer dari tuntutan hukum yang terjadi akibat menggunakan ciptaan orang lain tanpa izin. Secara faktual, kita tidak bisa menduplikasi keindahan suatu gedung atau patung hanya melalui fotografi atau lukis.
Pemisahan royalti. Royalti adalah "murni" benar-benar berasal dari karyanya dan bukan dari ciptaan lain yang diturunkan. Royalti fotografer adalah milik fotografer dan bukan milik arsitek ataupun pematung.
Memacu arsitek dan/atau pematung untuk terus berkaya. Pemisahan royalti membuat pekerja seni harus terpacu untuk berkarya, berkarya, dan berkarya. Terciptalah persaingan sehat antara seluruh pekerja seni di kancah internasional.
Video game development. Developer game Indonesia sampai saat ini masih sedikit yang berani bersaing di pentas game internasional. Tema Indonesia terutama Indonesia zaman modern seperti Jakarta sulit diangkat ke game bergenre misalnya balapan, atau action karena absennya FoP di undang-undang hak ciptanya. Banyak kriteria yang harus dipenuhi agar game bisa diterbitkan, salah satunya tidak melanggar hak cipta orang lain.
Menyederhanakan perizinan. Negara dengan FoP hanya mewajibkan izin penggunaan lokasi saja untuk melakukan fotografi, sedangkan untuk negara yang tanpa FoP, justru mewajibkan tambahan izin penggunaan ciptaan untuk bisa mengadakan fotografi komersial di negara tanpa FoP.